16 KOPER BUKU vs 3 ANAK KECIL
Hari itu tanggal 1 Februari 1942. Sebuah heli berkapasitas kecil, MLD Catalina, pagi-pagi buta berputar-putar mencari lokasi pendaratan di atas teluk Banda Naira, pulau kecil kaya rempah di Maluku Tengah. Begitu kaki-kaki heli menjejak tanah pantai yang datar, co-pilot, seorang perwira Belanda berperawakan kurus, dengan cepat-cepat menuju ke rumah dimana dua orang buangan sejak 6 tahun lalu tinggal. Orang buangan itu tak lain adalah Hatta dan Syahrir. Oleh perwira Belanda tadi, Hatta dan Syahrir diberi waktu kurang dari satu jam untuk mengemasi barang-barangnya, untuk kemudian dibawa meninggalkan Banda Naira.
Hatta, demikian juga Syahrir, siap menaiki Catalina. Barang-barang pribadi juga sedia dinaikkan ke Catalina, termasuk 16 koper buku milik Hatta dan 3 anak angkat Syahrir yang masih kecil-kecil, yang salah satunya masih 3 tahun. Mendadak masalah muncul. Catalina tak muat untuk dimasuki seluruh calon rombongan. Pilihannya tinggal dua: 16 koper buku ataukah 3 anak kecil yang dibawa serta. Hatta mengalah. Ia merelakan buku-bukunya ditinggal di Naira. Akhirnya bertolaklah rombongan Hatta, Syahrir dan 3 anak angkatnya (riwayat lain menyebutkan hanya 2 anak yang ikut serta yaitu Lili dan Ali, siwalimanews.com) dari Naira menuju Jakarta, sementara 16 koper buku Hatta dibawa kembali oleh warga yang mengantarkan kepergian mereka berdua, ke rumah semula.
Begitulah situasi di pantai Banda Naira pagi itu, seperti yang "dibayangkan" Gunawan Muhammad: situasi yang menjadi salah satu titik klimaks dalam esainya yang berjudul "Syahrir di Pantai", situasi yang menjadi titik tolak Gunawan Muhammad dalam mendeskripsikan keyakinan hidup dan pemikiran Syahrir, seorang Nietschean sekaligus Marxis, seorang idealis yang dituntut menjadi materialis-sosialis.
Lantas mengapa Hatta waktu itu mau mengalah kepada Syahrir?
Padahal kita tahu, Om Kacamata, demikian Hatta dipanggil oleh anak-anak Banda Naira, adalah seorang kutu buku kelas berat, yang biasa membaca buku hingga 8 jam tiap hari, dan bisa sangat marah jika ada yang mengganggunya ketika sedang membaca buku. Bahkan - wujud saking cintanya kepada buku - mas kawin pun, ketika menikahi istrinya, Rahmi Rachim, adalah buku. Bagaimana bisa, seorang kutu buku akan mudah rela kehilangan buku-bukunya yang 16 koper hasil koleksinya saat sekolah di Belanda itu?
Jika dibandingkan dengan Syahrir, Hatta lebih tua 7 tahun. Hatta lahir tahun 1902 sementara Syahrir tahun 1909. Keduanya sama-sama berasal dari Sumatera Barat, dan sama-sama berasal dari keluarga terpandang. Hatta anak dari seorang ulama' tarekat yang disegani, sedangkan ayah Syahrir adalah hakim tinggi dan penasehat raja setempat. Demikian pula pendidikan keduanya, baik Hatta maupun Syahrir mengenyam pendidikan dasar ELS, berlanjut ke MULO, hingga pendidikan tinggi - yang juga sama-sama - di Belanda. Bedanya, Syahrir memilih fakultas hukum - di Universitas Amsterdam, sementara Hatta fakultas ekonomi - di Handels Hoge School Rotterdam. Bahkan Hatta semestinya lebih prestise, karena ia menambah pendidikannya di fakultas hukum negara dan hukum administrasi pada perguruan tinggi yang sama.
Jatuhnya pilihan pada anak-anak kecil daripada 16 koper buku - yang diartikan sebagai kemenangan Syahrir atas Hatta - waktu itu, oleh Gunawan Muhammad digunakan untuk menggambarkan perbedaan pemikiran antara Sayhrir dan Hatta. Hatta, dengan 16 koper bukunya, digambarkan sebagai pemikir yang cinta ketenangan, keharmonisan, suka ide-ide yang sistematis, tertata rapi dan rijid. Sedangkan Syahrir dengan anak-anak angkatnya yang masih kecil, yang menjadi tokoh utama dalam esainya itu, merepresentasikan seorang yang suka akan kebebasan, gairah, emosi, seorang yang lebih memilih pengalaman daripada penalaran abstrak; seorang yang lebih memilih hidup tak "bertentu-tuju" dan tak "bertentu-asal", seperti yang dirasakan anak-anak kecil itu, atau yang dirasakan seniman: yang "membangun dan menghancurkan dalam keadaan tanpa bersalah".
Ia lah Syahrir, seorang Nietschean, yang pada akhirnya - karena sebagai tokoh pergerakan kemerdekaan - menjadi Marxis. Ia lah Syahrir, tokoh yang - kecuali oleh PKI - dipercaya dan disegani oleh semua golongan yang berbeda pendapat. Ia lah Syahrir, seorang yang sangat anti kekerasan, anti peperangan, yang menjadikannya sebagai seorang diplomat ulung. Ia lah Syahrir, seorang yang dicap sebagai "pengkhianat bangsa" namun akhirnya dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional.
Tetapi benarkah keputusan untuk membawa 3 anak kecil daripada 16 koper buku, waktu itu, merupakan manifestasi dari pemikiran - Syahrir? Atau, apa sebenarnya yang melatarbelakangi Hatta dan Syahrir, waktu itu, lebih memilih untuk membawa anak-anak itu daripada 16 koper buku?
Ya, sejatinya, ketiga anak itu, yang inginnya dibawa semua, adalah cucu-cucu dari Baadilla, seorang legenda Banda Naira yang pernah menjadi saudagar kaya dan kapten Arab. Ia, Baadilla, terkenal dan menjadi legenda di Naira karena ia pernah memberikan mutiara khas Naira ke Ratu Wilhelmina, yang kemudian dipasang di mahkotanya. Keputusan Syahrir dan Hatta waktu itu agaknya sangat tepat, karena selain - bisa jadi - muatan politik kebagsaan, anak-anak angkatnya mampu meneruskan perjuangan Syahrir, perjuangan mempertahankan serta mengisi kemerdekaan Indonesia. Des Alwi, salah satu anak angkatnya, dikenal sebagai pelaku sejarah yang rajin mengoleksi kepingan-kepingan sejarah Indonesia.
Bagaimanapun, Gunawan Muhammad dengan cerdik menautkan pemilihan anak-anak kecil daripada 16 koper buku waktu itu, dengan motif pemikiran. Wajar, karena ia bukan sejarawan ataupun politisi waktu itu, melainkan "hanya" seorang pembaca Nietsczhe, Camus, Habermas, hingga Derrida. Wajar, karena memang dalam esai itu, ia hendak membahas persoalan pemikiran, dan keyakinan hidup - Syahrir.
Hatta, demikian juga Syahrir, siap menaiki Catalina. Barang-barang pribadi juga sedia dinaikkan ke Catalina, termasuk 16 koper buku milik Hatta dan 3 anak angkat Syahrir yang masih kecil-kecil, yang salah satunya masih 3 tahun. Mendadak masalah muncul. Catalina tak muat untuk dimasuki seluruh calon rombongan. Pilihannya tinggal dua: 16 koper buku ataukah 3 anak kecil yang dibawa serta. Hatta mengalah. Ia merelakan buku-bukunya ditinggal di Naira. Akhirnya bertolaklah rombongan Hatta, Syahrir dan 3 anak angkatnya (riwayat lain menyebutkan hanya 2 anak yang ikut serta yaitu Lili dan Ali, siwalimanews.com) dari Naira menuju Jakarta, sementara 16 koper buku Hatta dibawa kembali oleh warga yang mengantarkan kepergian mereka berdua, ke rumah semula.
Begitulah situasi di pantai Banda Naira pagi itu, seperti yang "dibayangkan" Gunawan Muhammad: situasi yang menjadi salah satu titik klimaks dalam esainya yang berjudul "Syahrir di Pantai", situasi yang menjadi titik tolak Gunawan Muhammad dalam mendeskripsikan keyakinan hidup dan pemikiran Syahrir, seorang Nietschean sekaligus Marxis, seorang idealis yang dituntut menjadi materialis-sosialis.
Lantas mengapa Hatta waktu itu mau mengalah kepada Syahrir?
Padahal kita tahu, Om Kacamata, demikian Hatta dipanggil oleh anak-anak Banda Naira, adalah seorang kutu buku kelas berat, yang biasa membaca buku hingga 8 jam tiap hari, dan bisa sangat marah jika ada yang mengganggunya ketika sedang membaca buku. Bahkan - wujud saking cintanya kepada buku - mas kawin pun, ketika menikahi istrinya, Rahmi Rachim, adalah buku. Bagaimana bisa, seorang kutu buku akan mudah rela kehilangan buku-bukunya yang 16 koper hasil koleksinya saat sekolah di Belanda itu?
Jika dibandingkan dengan Syahrir, Hatta lebih tua 7 tahun. Hatta lahir tahun 1902 sementara Syahrir tahun 1909. Keduanya sama-sama berasal dari Sumatera Barat, dan sama-sama berasal dari keluarga terpandang. Hatta anak dari seorang ulama' tarekat yang disegani, sedangkan ayah Syahrir adalah hakim tinggi dan penasehat raja setempat. Demikian pula pendidikan keduanya, baik Hatta maupun Syahrir mengenyam pendidikan dasar ELS, berlanjut ke MULO, hingga pendidikan tinggi - yang juga sama-sama - di Belanda. Bedanya, Syahrir memilih fakultas hukum - di Universitas Amsterdam, sementara Hatta fakultas ekonomi - di Handels Hoge School Rotterdam. Bahkan Hatta semestinya lebih prestise, karena ia menambah pendidikannya di fakultas hukum negara dan hukum administrasi pada perguruan tinggi yang sama.
Jatuhnya pilihan pada anak-anak kecil daripada 16 koper buku - yang diartikan sebagai kemenangan Syahrir atas Hatta - waktu itu, oleh Gunawan Muhammad digunakan untuk menggambarkan perbedaan pemikiran antara Sayhrir dan Hatta. Hatta, dengan 16 koper bukunya, digambarkan sebagai pemikir yang cinta ketenangan, keharmonisan, suka ide-ide yang sistematis, tertata rapi dan rijid. Sedangkan Syahrir dengan anak-anak angkatnya yang masih kecil, yang menjadi tokoh utama dalam esainya itu, merepresentasikan seorang yang suka akan kebebasan, gairah, emosi, seorang yang lebih memilih pengalaman daripada penalaran abstrak; seorang yang lebih memilih hidup tak "bertentu-tuju" dan tak "bertentu-asal", seperti yang dirasakan anak-anak kecil itu, atau yang dirasakan seniman: yang "membangun dan menghancurkan dalam keadaan tanpa bersalah".
Ia lah Syahrir, seorang Nietschean, yang pada akhirnya - karena sebagai tokoh pergerakan kemerdekaan - menjadi Marxis. Ia lah Syahrir, tokoh yang - kecuali oleh PKI - dipercaya dan disegani oleh semua golongan yang berbeda pendapat. Ia lah Syahrir, seorang yang sangat anti kekerasan, anti peperangan, yang menjadikannya sebagai seorang diplomat ulung. Ia lah Syahrir, seorang yang dicap sebagai "pengkhianat bangsa" namun akhirnya dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional.
Tetapi benarkah keputusan untuk membawa 3 anak kecil daripada 16 koper buku, waktu itu, merupakan manifestasi dari pemikiran - Syahrir? Atau, apa sebenarnya yang melatarbelakangi Hatta dan Syahrir, waktu itu, lebih memilih untuk membawa anak-anak itu daripada 16 koper buku?
Ya, sejatinya, ketiga anak itu, yang inginnya dibawa semua, adalah cucu-cucu dari Baadilla, seorang legenda Banda Naira yang pernah menjadi saudagar kaya dan kapten Arab. Ia, Baadilla, terkenal dan menjadi legenda di Naira karena ia pernah memberikan mutiara khas Naira ke Ratu Wilhelmina, yang kemudian dipasang di mahkotanya. Keputusan Syahrir dan Hatta waktu itu agaknya sangat tepat, karena selain - bisa jadi - muatan politik kebagsaan, anak-anak angkatnya mampu meneruskan perjuangan Syahrir, perjuangan mempertahankan serta mengisi kemerdekaan Indonesia. Des Alwi, salah satu anak angkatnya, dikenal sebagai pelaku sejarah yang rajin mengoleksi kepingan-kepingan sejarah Indonesia.
Bagaimanapun, Gunawan Muhammad dengan cerdik menautkan pemilihan anak-anak kecil daripada 16 koper buku waktu itu, dengan motif pemikiran. Wajar, karena ia bukan sejarawan ataupun politisi waktu itu, melainkan "hanya" seorang pembaca Nietsczhe, Camus, Habermas, hingga Derrida. Wajar, karena memang dalam esai itu, ia hendak membahas persoalan pemikiran, dan keyakinan hidup - Syahrir.
Komentar
Posting Komentar