MELURUSKAN MAKNA TARBIYAH: Orasi Ilmiah Prof. Dr. KH. Imam Suprayogo, M.Pd Dalam Wisuda STIT Sunan Giri Trenggalek-XIX Tahun 2013
Dalam
Rapat Senat Terbuka dalam rangka Wisuda Strata 1 STIT Sunan Giri Trenggalek kali
ini, tepat satu minggu yang lalu, saya menyempatkan diri untuk mengikuti
seluruh rangkaian acara, dari awal hingga akhir. Meskipun tidak memperoleh
“jatah kursi” yang disediakan panitia, saya tidak ragu memasuki arena wisuda.
Tentunya, saya dan keluarga wisudawan lain yang juga tidak mendapatkan jatah
kursi hanya bisa menyaksikan dari ujung paling belakang yang masih lapang namun
tanpa fasilitas kursi.
Rapat
Senat Terbuka tahun ini, yang diselenggarakan di Gedung Serbaguna Kelutan
tampak lebih meriah dan khidmat. Setidaknya dibandingkan dengan even serupa
tahun kemarin yang diselenggarakan di aula Kantor Kelurahan Sumbergedong. Mungkin
hal ini dikarenakan lokasinya yang lebih lapang dan di gedung yang besar,
dengan bantuan sound system yang mumpuni, sehingga prosesi wisuda tampak lebih
khidmat dan sakral.
Dari
ujung paling belakang, diantara anak-anak kecil bermain bekejar-kejaran, saya
menyimak rentetan acara demi acara dengan seksama. Saya begitu bersemangat
karena akan ada orasi ilmiah yang akan disampaikan oleh Prof. Dr. KH. Imam
Suprayogo, M.Pd, seorang Guru Besar di UIN Maliki Malang. Sebenarnya, pembicara
tahun lalu tidak kalah hebat; rektor UIN Sunan Ampel Surabaya. Namun kali ini
lain. Yang membuat lebih istimewa adalah karena Prof. Suprayogo merupakan tokoh
asli Trenggalek, kelahiran Trenggalek, tepatnya kecamatan Watulimo. Kedekatan
emosional sebagai sesama orang Trenggalek itulah yang tentunya diharapkan
membawa motivasi tersendiri bagi lulusan-lulusan STIT Sunan Giri Trenggalek
tahun ini, termasuk tamu undangan dan saya sendiri, untuk mampu berkarya
setidaknya seperti beliau raih sekarang.
Maka
begitu Pembawa Acara memberikan waktu dan tempat kepada Prof. Suprayogo, saya
segera mengambil buku saku dan bolpoin untuk merekam pemikiran-pemikiran beliau
kedalam tulisan. Saya sebenarnya ingin mengeluarkan netbook yang selalu
menemani kemanapun saya pergi, karena saya lebih suka dan lebih cepat merangkum
lewat komputer. Namun, melihat situasi dan tempat yang tidak memungkinkan, mau
tidak mau, buku dan bolpoin lah yang saya siapkan.
Sebenarnya,
mengenai kebiasaan yang lebih suka menulis di komputer daripada di buku tulis,
saya pernah ditegur meskipun secara implisit oleh salah satu dosen yang paling
menginspirasi saya, Dr. Ngainun Naim. Beliau pernah bercerita kepada saya bahwa
kebanyakan, profesor besar itu menuliskan ide-ide dan pemikiran-pemikirannya
lewat buku tulis, secara manual. Dan jika tulisan tangan tersebut sudah
dianggap selesai, baru kemudian diketik ke dalam komputer. Pengetikan ke dalam
komputer itupun hanya dimaksudkan agar tulisan tangan tersebut
terdokumentasikan lebih rapi dan mudah diakses, selain tentunya untuk tujuan
penerbitan menjadi sebuah buku. Maka, sangat dimaklumi apabila Dr. Naim
mempunyai bertumpuk-tumpuk tulisan tangan di rumahnya, hasil menulis beliau
setiap hari! Prof. Mujammil, mantan Rektor STAIN Tulungagung – masih menurut
Dr. Naim – pun mempunyai kebiasaan menulis setiap hari, dan itu dilakukan
secara manual di atas buku tulis.
Kebiasaan
menulis setiap hari pun ternyata juga dilakukan oleh Prof. Imam Suprayogo!
Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Suprayogo mengaku bahwa sejak 2006, beliau setiap
hari menulis makalah sebanyak 3 sampai 4 lembar, dan itu dilakukannya setiap
pagi. Jika dihitung hingga sekarang, masih menurut beliau, total makalah yang
telah ditulis sejumlah 1.960-an makalah!, yang kesemuanya bisa dibaca melaui
website resmi UIN Maliki.
LAKUKAN
DENGAN SERIUS !
Mengawali
orasi ilmiahnya, Prof. Suprayogo bercerita mengenai perjalanan pendidikan dan prestasinya
– entah kenapa saya kok tidak suka memakai istilah “karir”, sejak masih duduk
di bangku SMAN 1 Trenggalek hingga saat ini menjadi seorang Guru Besar di UIN Maulana
Malik Ibrahim (Maliki) Malang. Hingga saat ini pula, total beliau menjabat
Kepala Sekolah (memimpin lembaga pendidikan) selama 41 tahun! Diawali 5 tahun
menjadi Kepala Sekolah di MINU (Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama) Watulimo,
kemudian menjabat Kepala Sekolah (Rektor) salah satu Perguruan Tinggi Swasta di
Malang selama 20 tahun. Dan yang terakhir, yang paling sukses, beliau dipercaya
untuk memimpin UIN Maliki Malang selama 4 periode, 16 tahun! Dan sekarang,
menjadi Guru Besar salah satu fakultas di UIN Maliki. Namun, di sela-sela
kesibukan menjadi Guru Besar, beliau juga aktif memberikan ceramah dan seminar,
tidak hanya di dalam negeri, melainkan juga di berbagai negara.
Beliau
menuturkan, tatkala masih menjabat Rektor UIN Maliki, beliau mempunyai
mahasiswa dari 29 negara! Tidak hanya dari negara-negara tetangga seperti
Singapura, Malaysia, ataupun Australia, namun juga berasal dari Jepang, Yaman,
Arab Saudi, Bulgaria, Ceko, bahkan Amerika Serikat. Jauh berbeda ketika menjadi
Kepala Sekolah di MINU Watulimo hampir 40 tahun lalu. Menurut beliau, lembaga
pendidikan di bawah naungan NU, atau yang berkultur NU itu sangat banyak. Namun
kebanyakan, lembaga pendidikan tersebut bernasib sama: tahan hidup, sukar mati,
tapi kaya masalah. Problematika pendidikan agama, terutama NU tersebut
sebenarnya bisa diatasi. Kuncinya adalah SERIUS! Ya, serius. Serius dalam hal
apapun. Kalau kita mau serius, hampir tidak ada yang tidak mungkin. Sesuatu
yang kelihatannya mustahil, apabila ada upaya yang serius, bukan tidak mungkin
akan menjadi kenyataan.
Mengenai
keseriusan ini, ada beberapa cerita menarik yang beliau sampaikan. Ketika
mengunjungi Yordania, beliau sempat heran melihat sebuah kebun pisang yang
luas, padahal Yordania merupakan salah satu negara padang pasir, dengan air
yang begitu mahal dan iklim yang sangat panas! Namun pisang-pisang itu terlihat
subur, layaknya tumbuh di Indonesia. Ternyata, dari apa yang beliau tahu dari
pemilik kebun, lahan yang awalnya berupa hamparan pasir, dikeduk dan diganti
dengan berkubik-kubik tanah liat, yang didatangkan entah dari mana. Sedangkan
untuk pengairan, saluran air pun dirancang sedemikian rupa. Maka tidak heran jika
pisang-pisang yang ditanam di Yordania itu dapat tumbuh subur.
Dari
kebun pisang itu, beliau melihat adanya keseriusan dalam upaya “memindahkan
pulau Jawa ke Yordania”. Dan sifat itulah, SERIUS, yang ingin digarisbawahi
oleh beliau untuk dijadikan pembelajaran bersama.
Masih
mengenai pentingnya sifat serius, Prof. Suprayogo juga menceritakan pengalaman
ketika berkunjung ke Arab Saudi. Di negara tersebut, lagi-lagi beliau menemukan
sesuatu yang tidak wajar. Ada peternakan sapi di tengah padang pasir! Beliau
pun tidak ketinggalan untuk melihat-lihat peternakan sapi itu, dan
berbincang-bincang dengan pemiliknya. Ternyata, masih cerita beliau, di
masing-masing kandang sapi dipasang AC (pendingin ruangan). “Di Indonesia,
tidak semua orang bisa merasakan sejuknya udara AC. Kalah dengan sapi-sapi di
Arab Saudi, yang semuanya mendapatkan fasilitas AC”, kata beliau yang disambut
tawa audiens.
“Teorinya
satu,” lanjut Prof. Suprayogo menirukan wejangan dari pemilik peternakan
tersebut, “Kalau mau beternak, ya jangan 10 atau 50 ekor. . . . . .harus 1000
ekor sapi sekalian!”.
Sepenggal
pengalaman yang diceritakan di atas sejatinya merupakan sedikit motivasi yang
ingin disampaikan oleh Prof. Suprayogo kepada para wisudawan dan pengurus STIT
Sunan Giri Trenggalek agar selalu serius, apapun itu, lakukan dengan serius!
MELURUSKAN
MAKNA TARBIYAH
Orasi
ilmiah oleh Prof. Suprayogo kemarin, menurut saya, sangat menarik. Hal ini
dapat dilihat dari audien, bahkan Ketua STIT Sunan Giri Dr. Syafi’i beserta
jajarannya di panggung pun, tentunya juga saya sendiri, yang begitu terhanyut,
sesekali tertawa, dan sesekali bertepuk tangan riuh. Namun demikian sama sekali
tidak mengurangi bobot materi yang disampaikan. Dalam orasi ilmiah tersebut,
topik utama yang disampaikan oleh Prof. Suprayogo, dari apa yang saya tangkap adalah
mengenai makna tarbiyah.
Membahas
makna tarbiyah sekilas memang kelihatan sepele. Sebagai mahasiswa maupun
wisudawan Jurusan Tarbiyah STIT Sunan Giri, istilah tarbiyah merupakan menu
sehari-hari. Sejak semester pertama hingga terakhir, pembahasan tentang
tarbiyah tidak pernah terlewatkan. Namun, apa yang diulas Prof. Suprayogo benar-benar
sangat dalam, serta menegaskan bahwa tarbiyah sangat jauh dari kata sepele.
Tarbiyah,
menurut Prof. Suprayogo, tidak hanya seputar kegiatan belajar mengajar di dalam
kelas saja. Namun lebih luas lagi, tarbiyah merupakan suatu proses, aktivitas,
yang (harus) kita semua alami dan harus kita sadari dalam aktivitas
sehari-hari. Tegasnya, aktivitas apapun yang kita kerjakan, kapanpun, dan
dimanapun, tidak boleh kita lepaskan dari proses atau sarana tarbiyah.
“Tarbiyah itu bukan hanya antara guru dengan murid, melainkan juga antara murid
atau guru itu sendiri dengan masyarakat, dengan lingkungan, bahkan dengan alam”,
begitu kira-kira yang hendak beliau sampaikan.
Sejalan
dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Suprayogo, tarbiyah sebenarnya berasal
dari tiga akar kata, yakni: 1) rabaa-yarbuu, 2) rabiya-yarbaa, 3)
dan rabba-yarubbu yang mempunyai arti berkembang, tumbuh, memperbaiki,
mengurus, dan memelihara. Dari tiga akar kata tersebut, makna tarbiyah dapat
disarikan sebagai proses pengembangan dan bimbingan meliputi jasad, akal, dan
jiwa, yang dilakukan secara berkelanjutan, agar si anak didik tumbuh dewasa dan
hidup mandiri di tengah masyarakat. Tarbiyah juga bermakna kegiatan yg mencakup
pengembangan, pemeliharaan, penjagaan, pengurusan, penyampaian ilmu, pemberian
petunjuk, bimbingan, penyempurnaan, dan perasaan memiliki terhadap anak.
Lebih
lanjut, dalam memahami makna tarbiyah, Prof. Suprayogo mengorelasikannya dengan
konsep tilawah, tazkiyah, ta’lim, dan hikmah, sebagaimana tersebut dalam surah
Al Baqarah ayat 129. Namun beliau tidak ingin melihat konsep tersebut dari arti
sempit. Menurut beliau, tilawah (membaca) tidak hanya proses transfer ilmu dari
guru yang membacakan ilmunya pada murid, atau murid yang mendengarkan dan
mengikuti apa yang disampaikan gurunya. Lebih luas, tilawah adalah membaca apa
saja yang ada di sekitar.
“Jangan
hanya pintar membaca ayat-ayat qauliyah saja, ayat-ayat kauniyah yang
disediakan oleh Allah. . . .kita pun juga harus baca!” tegas beliau. “Ayat-ayat
kauniyah itu bukan hanya alam semesta ciptaan-Nya saja, tapi juga meliputi
kehidupan sosial, ekonomi, budaya, bahkan politik” lanjut beliau.
Pernyataan
Prof. Suprayogo tersebut dapat dimaknai bahwa sebagai orang yang terdidik, yang
bergelar sarjana, wisudawan STIT Sunan Giri sudah sepantasnya “membuka mata”,
tidak hanya terkungkung dalam dunia pendidikan dan abai pada domain kehidupan
lain seperti sosial, budaya, maupun politik. Hal ini tidak lepas dari mitos
bahwa Perguruan Tinggi merupakan lembaga pencetak pengangguran terpelajar,
penyebar “sindrom kelas sosial” mahasiswa atau sarjana. Meskipun sebenarnya masih
banyak faktor yang dapat menyebabkan tingginya angka pengangguran terdidik.
Namun yang ingin ditekankan Prof. Suprayogo adalah kembali bahwa seorang
mahasiswa atau sarjana pendidikan juga harus pintar membaca dunia sosial, budaya,
ekonomi, maupun politik. Termasuk peluang usaha pun, juga merupakan bagian dari
ayat-ayat kauniyah yang patut kita cermati.
Konsep
yang kedua adalah tazkiyah. Tazkiyah disini mempunyai arti menyucikan, yakni
menyucikan hati dan jiwa, setidaknya dalam hal: aqidah, akhlak, dan harta. Apalagi
zaman sekarang ini, seperti disampaikan Prof. Suprayogo, banyak sekali
model-model syirik yang ada di sekitar kita. Seperti menumpuk kekayaan, mencari
kebahagiaan dengan mengumpulkan harta, pangkat, jabatan, dan sebagainya, sangat
dekat dengan syirik, dan sukar dikenali. Oleh karena itulah akal, jiwa dan hati
harus selalu dijaga.
Kemudian
ta’lim. Konsep ta’lim tidak hanya mengajar, atau menyampaikan sesuatu kepada
orang lain (murid), namun lebih ditekankan pada pemahaman. Ada semacam target ta’lim
yang harus dicapai, yaitu murid dapat memahami dan menghayati dengan baik apa
yang telah disampaikan oleh guru. Oleh karena itu, guru harus pintar
menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu yang sesuai dengan kemampuan murid
yang berbeda-beda.
Dalam
mengulas ayat “wa yu’ali hum al kitab” ini, Prof. Suprayogo mengemukakan
beberapa pengalamannya yang menarik untuk disimak. Salah satu program unggulan
beliau ketika memimpin UIN Maliki adalah beasiswa penuh bagi mahasiswa yang
hafal 30 juz Al Qur’an. Beliau berkeyakinan bahwa anak yang hafal Al Qur’an
mempunyai tingkat intelegensi yang lebih tinggi daripada anak pada umumnya. Dan
keyakinan beliau itu terbukti. Selama beberapa tahun terakhir, mahasiswa
pemegang IP tertinggi di UIN Maliki selalu dari mahasiswa yang hafal Al Qur’an
30 juz!
Selain
itu, Prof. Suprayogo juga berkeyakinan bahwa teknologi mempunyai korelasi
positif terhadap keimanan, agama. Beliau mengaku, awalnya beliau mendapat
banyak kecaman dari kalangan ulama-ulama pondok pesantren. Bagaimana mungkin
ilmu pengetahuan dan teknologi hasil dari kerja akal, rasio, bisa bersanding
dengan agama yang berada dalam domain hati, supra-rasional. Namun sekali lagi,
keyakinan beliau terbukti. Beliau menceritakan, penelitian tentang jumlah
bintang yang ada di angkasa, yang membenarkan hadith nabi bahwa jumlah bintang
yang ada di langit sejumlah pasir pantai yang ada di bumi. Atau juga teori big
bang, yang mengatakan bahwa dunia dan isinya merupakan hasi ledakan dari satu
atom.
Penemuan
dan penelitian yang dilakukan kalangan ilmuwan itu semua, lanjut beliau, justru
semakin membuktikan kebenaran isi kandungan Al Qur’an. Bahkan belum lama ini,
mahasiswa kedokteran UIN Maliki yang entah kebetulan atau tidak, juga hafal Al
Qur’an, menemukan hal yang mencengangkan dalam bidang kedokteran, yaitu tentang
posisi ibu yang baik saat melahirkan. Mahasiswa-mahasiswa yang hafal Al Qur’an
itu, setelah melakukan serangkaian penelitian tentang anatomi tubuh ibu,
otot-otot, dan yang berhubungan dengannya, menarik kesimpulan bahwa posisi ibu
yang baik saat melahirkan bukanlah telentang sebagaimana lazimnya selama ini, melainkan
dengan posisi duduk bersandar.
Dikisahkan
dalam Al Qur’an, bahwa ketika Maryam merasa akan segera melahirkan, ia duduk di
pangkal pohon kurma (QS. 19: 23). Dalam kesedihannya itu, Jibril a.s.
memintanya untuk menggoyangkan pohon kurma tersebut sehingga jatuhlah beberapa
buahnya. Nah, isyarat Tuhan yang akhirnya terbukti bukan hanya mengenai posisi
yang baik saat ibu melahirkan. Prof. Suprayogo melanjutkan, ternyata buah kurma
yang jatuh menimpa Maryam tatkala itu juga memberikan isyarat sendiri.
Penelitian telah menemukan adanya suatu zat yang tidak ada dalam buah apapun
selain dalam buah kurma. Zat yang hanya ditemukan dalam buah kurma tersebut ternyata
mempunyai khasiat yang masih berhubungan dengan proses melahirkan, yaitu dapat
menghentikan pendaharan pada saat melahirkan!
Terlepas
apakah penelitian itu berangkat dari hipotesis yang diambil dari Al Qur’an
khususnya kisah Maryam ketika melahirkan Isa, ataukah memang suatu kebetulan,
namun yang pasti, teknologi dan akal pada akhirnya semakin membuktikan
kebenaran yang terkandung dalam ayat-ayat suci Al Qur’an. Oleh karena itu,
Prof. Suprayogo tidak henti-hentinya mendorong
mahasiswa beliau untuk menghafalkan Al Qur’an, karena selain menghafal
Al Qur’an dapat meningkatkan kecerdasan, masih banyak rahasia dalam ayat-ayat
suci yang belum terpecahkan.
Prof.
Suprayogo melanjutkan ceramahnya untuk mengulas tentang hikmah. Secara sederhana,
hikmah dapat diartikan sebagai kebijaksanaan. Mengenai pentingnya kebijaksanaan
ini, beliau kembali menuturkan sebuah kisah, yang menurut beliau, meskipun
kesahihan ceritanya belum teruji, tapi bukan kemudian tidak sah untuk
diceritakan karena ada nilai pembelajaran di dalamnya. Begini kira-kira
ceritanya. . . . . . . . . .
Syahdan,
dahulu kala ada sebuah kerajaan besar yang mempunyai kekayaan melimpah dan
wilayah yang luas, hampir separo belahan bumi. Istana Sang Raja pun berdiri
dengan megah di atas bukit nan subur. Tak ada istana manapun di dunia yang
dapat menandingi kemegahannya. Namun dibalik itu semua, ada satu hal yang
sangat disayangkan, yaitu Sang Raja hanya mempunyai satu mata, meskipun tidak
banyak rakyatnya yang tahu.
Suatu
ketika, raja ingin membuat lukisan dirinya untuk dipajang di dinding istana.
Maka dipanggil lah seorang pembesar kerajaan untuk ditugaskan mencari
pelukis-pelukis handal yang ada di seluruh kerajaan. Singkat cerita, setelah
berputar-putar ke seluruh pelosok negeri, pembesar kerajaan itu pun kembali ke
istana dengan membawa tiga pelukis yang dianggap cocok dengan keinginan raja.
Setelah dihadapkan di depan raja, ketiga pelukis itu diberi kesempatan satu per
satu. Pelukis pertama segera melaksanakan titah raja. Dengan kepandaiannya, ia
melukis diri raja dengan sangat indah, persis seperti aslinya. Pelukis itupun
segera menyerahkan hasil karyanya kepada raja dengan bangga. Namun apa yang
terjadi? Raja pun marah bukan kepalang melihat lukisan tersebut, sebab pikir
raja, bagaimana mungkin lukisan itu dipajang di dinding istana? Meskipun memang
kenyataannya demikian, namun itu hanya akan membuka aib raja sendiri. Pelukis
itupun akhirnya dijatuhi hukuman yang berat oleh raja.
Pelukis
keduapun maju. Ia pun segera mempersiapkan alat-alat untuk melukis. Dan karena
ia tahu apa yang terjadi dengan pelukis pertama, ia pun melukis raja layaknya
seorang raja yang gagah, tampan, dan mempunyai dua mata. Ia berpikir, raja
tentu senang karena dalam lukisannya, raja tampak tampan dan mempunyai dua
mata, sehingga raja tidak akan malu lagi memasang lukisan dirinya di istana.
Namun ternyata raja tetap marah. Raja merasa, lukisan yang tidak sesuai dengan
kenyataan yang sebenarnya itu justru akan semakin mempermalukan dirinya. Maka
dihukumlah pelukis kedua itu sama beratnya dengan pelukis pertama.
Giliran
pelukis ketiga dan terakhir mendapatkan kesempatan. Namun ia tidak segera
melukis, melainkan terlebih dahulu bertanya-tanya kepada raja. Pelukis ketiga itu sadar, raja tentu tidak berkenan
jika dilukis sebagaimana adanya, yaitu dengan satu mata, karena itu merupakan
aib raja. Sebaliknya, ia juga paham seandainya ia melukis raja dengan mata yang
lengkap, hal itu juga akan membuat marah raja karena sama saja dengan menyebar
kebohongan. Maka setelah memeras otak, ia pun menanyakan hobi raja. Raja pun
menjawab bahwa hal yang paling disenangi adalah berburu di hutan menggunakan
senjata. Mendengar jawaban raja, pelukis itu lantas menawari raja agar dilukis dalam
keadaan sedang membidik hewan buruan menggunakan senjata yang paling canggih.
Ia menjelaskan kepada raja bahwa siapapun orangnya, meskipun mempunyai mata
lengkap sekalipun, yang sedang dalam keadaan seperti itu pasti hanya
menggunakan satu mata. Ternyata, raja sangat puas dengan akal cerdik pelukis
itu. Raja merasa, dengan lukisan seperti itu, raja tidak akan terbuka aibnya,
juga tidak terkesan menutup-nutupi keadaan yang sebenarnya dengan kebohongan.
Maka setelah lukisa tersebut diselesaikan, pelukis itupun mendapatkan hadiah
yang sangat besar.
Dari
cerita di atas, lanjut Prof. Suprayogo, ada satu kesimpulan yang penting kita
renungkan, yaitu tentang kebijaksanaan, tentang hikmah.
Sebenarnya,
masih ada beberapa cerita menarik yang disampaikan oleh Prof. Suprayogo tentang
hikmah ini. Seperti sejarah terciptanya Poros Jakarta-Moskow-Peking oleh Bung
Karno, cerita tentang bagaimana sejarah Pohon Soekarno di Rusia, hingga ruas
jalan di Maroko yang diberi nama Jalan Soekarno. Beliau yang mengaku pengagum
berat Bung Karno itu bisa denga lugas menceritakan kejadian-kejadian tersebut,
karena pernah mengunjungi negara-negara tersebut.
Dari
ulasan atas orasi ilmiah Prof. Suprayogo dalam Wisuda STIT Sunan Giri kemarin,
banyak sekali pelajaran bagi kita, terutama kalangan terpelajar dan sarjana.
Namun, yang tidak kalah penting, sebagaimana beliau sampaikan, adalah bagaimana
kita harus mampu menangkap “ruh ilmu”, atau jiwa ilmu. . . . . . . . .
Komentar
Posting Komentar