ASUL-ASUL BUKAN ASAL ASALAN

Akhir bulan kemarin hingga pertengahan bulan Mei ini, sering kita temui pesta perkawinan baik yang sederhana, dengan memasang terop di depan rumah – yang tidak jarang hingga memakan seluruh jalan – maupun yang mewah dan meriah di hotel atau setidak-tidaknya di sebuah gedung. Entah ada kaitan erat dengan perhitungan “naga dina” atau “naga sasi” yang dipercaya orang Jawa (Timuran) atau tidak, yang jelas hajatan pernikahan di daerah ‘Timuran’ hampir selalu bersamaan, seakan-akan tiba waktunya musim kawin. Fenomena “musim kawin” tersebut selalu terjadi setiap tahun di bulan-bulan tertentu.

Saya tidak sedang ingin membahas tentang mengapa orang-orang Jawa (Timuran) seakan tidak bisa lepas dari astrologi Jawa seperti nagadina, nagasasi, nagataun, cakra manggilingan, atau perhitungan-perhitungan lainnya. Hanya, kemarin saya menemukan dua kardus oleh-oleh (asul-asul) di meja ruang tamu yang kelihatannya berasal dari tetangga dusun yang sampai tadi malam dari sound system-nya terdengar suara Anom Suroto yang memainkan lakon Bima Maneges. Tidak ada yang aneh dari berkat tersebut. Pun wajar jika ibu saya pulang kondangan kemudian ada ember berisi nasi berbungkus daun jati dan lodeh, apapun menunya, plus seplastik jajan atau kue di meja.

Namun yang kemudian menggelitik pikiran saya adalah asul-asul yang berupa kue kering semacam biskuit yang saya lupa mereknya. Entah kenapa terlintas dalam benak saya beberapa bulan bahkan tahun lalu, ketika saya hanya menemukan jajan seperti opak asin (begitu adik saya menyebutnya), rengginang, kue bolu, opak lempeng dan penganan sederhana semacamnya. Begitu berbeda dengan asul-asul sekarang yang mana penganan-penganan sederhana seperti itu sulit kita temui.

Fenomena seperti itu mungkin merupakan hal biasa atau sepele. Namun hal tersebut agak mengganjal di benak saya. Bagaimana asul-asul yang beberapa tahun lalu berupa jajan sederhana sekarang menjadi penganan yang ‘modern’, siap saji, dan simpel. Atau berupa cinderamata jika yang mempunyai hajat berasal dari kalangan menengah keatas.

Asul-asul berupa penganan siap saji seperti biskuit atau semacamnya seakan menandakan bergesernya kebiasaan di masyarakat. Dulu, sebelum menyelenggarakan hajatan, entah khitanan atau pernikahan, orang pasti jauh-jauh hari mempersiapkan diri. Tak terkecuali persiapan untuk asul-asul. Saya masih ingat ketika melihat sibuknya ibu-ibu yang sedang ‘rewang’ dalam menyiapkan asul-asul, selain juga menyiapkan yang lain. Ada yang menggoreng opak dan rengginang, sebagian menggoreng emping mlinjo, sebagian lain membuat roti, sedangkan yang bapak-bapak asyik mengaduk jenang. Penuh keakraban, kekeluargaan dan saling gotong royong. Namun sekarang, dengan asul-asul dari jajanan siap saji, suasana seperti itu jarang bahkan sulit ditemukan. Penganan instan sebagai asul-asul meniadakan hal-hal yang bersifat sosialistis semacam itu. Budaya instan telah memudarkan budaya ‘ketimuran’ yang dulunya menjadi identitas bangsa.

Selain memudarkan nilai-nilai sosialistis, budaya instan juga berhubungan erat dengan budaya konsumtif, yang dengan kata lain bahwa budaya instan akan menghilangkan proses. Suasana yang mana banyak orang baik dari kalangan ibu-ibu maupun bapak-bapak yang secara gotong royong saling membatu dengan penuh keakraban dan kekeluargaan dalam rangka persiapan hajatan, sekarang sulit ditemui. Orang lebih suka yang simpel, cepat, dan tidak merepotkan. Waktu juga banyak dijadikan alasan kenapa masyarakat sekarang lebih suka membeli. Masyarakat sekarang begitu (suka) dikejar waktu. Maka wajar jika sekarang hampir tidak ada persiapan hajatan yang yang berarti, yang melibatkan banyak orang dan memerlukan cukup banyak waktu karena ubo rampen-nya cukup dengan membeli.

Permasalahannya bukan terletak pada berapa nilai atau harga asul-asulnya, melainkan dari mana atau siapa produsen biskuit tersebut dibeli. Memang tidak sedikit juga orang yang punya hajat membeli atau memesan jajanan seperti kerupuk, rengginang, opak matahari dari penjual di pasar-pasar tradisional atau tetangga lain demi efektifitas waktu dan tenaga. Namun dengan asul-asul yang berupa biskuit atau semacamnya, perusahaan-perusahaan beromzet besar di perkotaan lah yang lebih laku produknya sekaligus diuntungkan, bukan pedagang-pedagang di pasar-pasar tradisional dengan modal dan omzet yang jauh lebih kecil.

Fenomena asul-asul yang sepertinya merupakan hal biasa tersebut memang sudah biasa dan mulai menjadi kebiasaan di masyarakat. Namun masih ada juga masyarakat yang mempunyai anggapan bahwa roti kemasan “ora pantes” dijadikan asul-asul dengan argumen yang beragam, seperti kesan yang kurang menghargai tamu, kurangnya bermasyarakat, sok kekota-kotaan, dan sebagainya. Memang di lingkungan saya, orang yang menggunakan asul-asul instan rata-rata dari kelas menengah ke atas. Ah, syukurnya di pernikahan saya kemarin asul-asul nya cukup jajan pasar, mesikpun tidak ‘warno pitu’. Yang penting asul-asul bukanlah sesuatu yang asal-asalan.

---------------------

Komentar