HERMENEUTIKA: DEFINISI
Hermeneutika, dalam Webster’s Third New Dictionary, adalah “studi tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi; khususnya studi tentang prinsip-prinsip umum interpretasi Bibel”. Hermeneutika awalnya merupakan metode tafsir Bibel, karena itulah ia tidak lepas dari konteks teologis. Namun sekarang, hermeneutika dianggap signifikan juga terhadap filsafat dan (interpretasi) sastra.
Hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata verba “hermêneuein” (menafsirkan) dan nomina “hermêneia” (interpretasi). Kedua kata ini diasosiasikan pada Dewa Hermes Sang pembawa pesan takdir, juga pada “pujangga” dari Sokrates dalam Ion-nya Plato. Dari mediasi dan proses membawa pesan ‘agar dipahami’ ini terkandung semua tiga bentuk dasar dari hermêneuein dan hermêneia, yaitu: 1) to stay, mengungkapkan kata-kata; 2) to explain, menjelaskan; dan 3) to translate, menerjemahkan. Ketiga makna itu bisa diwakilkan ke dalam kata kerja Inggris “to interpret”.
Hermeneutika menjadi penting dalam upaya panafsiran terhadap karya sastra. Karya sastra yang dengan cara berpikir saintifik yang kaku dan statis diperlakukan sebagai obyek analisis, sesuatu yang bisu, diasumsikan “berada di luar”, terpisah dengan pembacanya; maka dengan hermeneutika, ia lebih elusif, historis, dan seolah-olah mampu berbicara dengan pembacanya. Kata “karya” mengasumsikan makna sentuhan/ buatan manusia (atau Tuhan), oleh karena itu, interpretasi hermeneutika (bukan lewat analisis sains) lebih bernuansa historis dan humanistik. Karya sastra bukanlah sebuah obyek yang dipahami dengan menganalisanya; ia merupakan suara (penciptanya) yang harus didengar, yakni dipahami melalui “pendengaran” (bukan melihat). Pemahaman merupakan fenomena epistemologis dan ontologis. Sebab itu hermeneutika berada dalam 2 wilayah pemahaman: tentang suatu peristiwa (teks), dan persoalan pemahaman itu sendiri.
*disarikan dari Richard E. Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2005), terj. cet. II
Hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata verba “hermêneuein” (menafsirkan) dan nomina “hermêneia” (interpretasi). Kedua kata ini diasosiasikan pada Dewa Hermes Sang pembawa pesan takdir, juga pada “pujangga” dari Sokrates dalam Ion-nya Plato. Dari mediasi dan proses membawa pesan ‘agar dipahami’ ini terkandung semua tiga bentuk dasar dari hermêneuein dan hermêneia, yaitu: 1) to stay, mengungkapkan kata-kata; 2) to explain, menjelaskan; dan 3) to translate, menerjemahkan. Ketiga makna itu bisa diwakilkan ke dalam kata kerja Inggris “to interpret”.
Hermeneutika menjadi penting dalam upaya panafsiran terhadap karya sastra. Karya sastra yang dengan cara berpikir saintifik yang kaku dan statis diperlakukan sebagai obyek analisis, sesuatu yang bisu, diasumsikan “berada di luar”, terpisah dengan pembacanya; maka dengan hermeneutika, ia lebih elusif, historis, dan seolah-olah mampu berbicara dengan pembacanya. Kata “karya” mengasumsikan makna sentuhan/ buatan manusia (atau Tuhan), oleh karena itu, interpretasi hermeneutika (bukan lewat analisis sains) lebih bernuansa historis dan humanistik. Karya sastra bukanlah sebuah obyek yang dipahami dengan menganalisanya; ia merupakan suara (penciptanya) yang harus didengar, yakni dipahami melalui “pendengaran” (bukan melihat). Pemahaman merupakan fenomena epistemologis dan ontologis. Sebab itu hermeneutika berada dalam 2 wilayah pemahaman: tentang suatu peristiwa (teks), dan persoalan pemahaman itu sendiri.
*disarikan dari Richard E. Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2005), terj. cet. II
Komentar
Posting Komentar