Ahlu al-dzikr vs Ahlu al-'ilm: Pertarungan Akal dan Hati
Sahabat, Tuhan berfirman: "Fas'aluu ahla al-dzikri in kuntum laa ta'lamuun"? "Bertanyalah kepada ahlu dzikr apabila kamu semua tidak mengetahui." Kenapa Tuhan menyuruh kita bertanya kepada ahlu al-dzikr?
Benar, filsafat sebagai sumber pengetahuan--bahkan dianggap sumber kebenaran. Dalam tradisi epistemologi, kita simak adanya pertarungan antara akal dan wahyu (hati), dari masa ke masa. Satu waktu, akal mengalahkan wahyu (hati), seperti yang terjadi pada era Sofis, Yunani Kuno. Dan di waktu yang lain, giliran wahyu (hati) yang mendominasi hingga akal dikekang habis-habisan. Era ini terkenal dengan sebutan dark age, abad kegelapan, dimana doktrin-doktrin agama (gereja) berhasil memberangus kreatifitas dan 'keliaran' akal yang dianggap berbahaya. Hingga muncullah Descartes yang berhasil menumbangkan represi gereja, dan membebaskan posisi akal, sehingga akal serasa terlahir kembali, renaissance. Begitulah, perkelahian antara akal dan hati (wahyu) dalam perebutan posisi sebagai sumber pengetahuan-kebenaran.
Kembali pada ayat ke-43 dari surah al-Nahl diatas, kenapa Tuhan tidak menyuruh kita bertanya kepada ahlu al-'ilm atau ahlu al-'aql, tapi justru kepada ahlu al-dzikr? Pastinya, ada rahasia yang tersembunyi di balik itu. Ini bukan berarti Tuhan menyembunyikan sesuatu, melainkan bisa jadi kita saja yang tidak mengetahuinya.
Dalam ranah episteme, kita mengenal aliran intuisionisme, dengan tokohnya bernama Henry Bergson (1859-1941 M). Intuisionisme--atau iluminasionisme atau 'kasyf' di kalangan agamawan sebagai--lahir setelah rasionalisme maupun empirisme dianggap gagal dalam mengeksplanasi suatu objek. Objek-objek yang ditangkap indera adalah objek yang selalu berubah, sementara indera itu sendiri sifatnya terbatas, akal juga terbatas. Akal hanya mampu menangkap objek ketika ia mengonsentrasikan diri pada objek itu, namun yang lain, yang 'unique', secara keseluruhan, tidak mampu dijangkau. Oleh karena itulah, untuk memahami objek secara keseluruhan, yang 'unique',utuh dan tetap, diperlukan usaha lain, bukan lagi lewat akal maupun indera lima.
Kemampuan itu bernama intuisi. Hampir sama dengan instict, namun intuisi berbeda dalam kesadaran dan kebebasannya. Adapun untuk memperoleh kemampuan intuisi tersebut diperlukan suatu usaha. Bukan lagi dengan jalan melihat, mendengar, meraba, berpikir radikal, atau sekedar kontempelasi, melainkan dengan cara-cara tertentu seperti tirakat, suluk, atau riyadhah. Dalam Islam dikenal sebutan tariqat dan tasawwuf. Hanya dengan itulah, manusia bisa mengetahui dan memahami suatu objek yang tetap, utuh, dan unique. Dan jalan yang seperti itu tidak bisa lepas dari dzikir, mengingat Tuhan, Dzat yang Maha Tinggi, Maha Mengetahui, dan yang 'laisa kamislihi syai'un'.
Maka demikianlah sedikit penjelasan mengenai alasan kenapa Tuhan menyuruh kita untuk menanyakan hal-hal yang tidak kita ketahui kepada ahlu-dzkir, bukan ahlu-'ilmi atau ahul-'aqli. Wallahu a'lam.
Referensi:
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati dari Thales sampai Capra, Cet. X, Remaja Rosdakarya, Bandung: 2002
Benar, filsafat sebagai sumber pengetahuan--bahkan dianggap sumber kebenaran. Dalam tradisi epistemologi, kita simak adanya pertarungan antara akal dan wahyu (hati), dari masa ke masa. Satu waktu, akal mengalahkan wahyu (hati), seperti yang terjadi pada era Sofis, Yunani Kuno. Dan di waktu yang lain, giliran wahyu (hati) yang mendominasi hingga akal dikekang habis-habisan. Era ini terkenal dengan sebutan dark age, abad kegelapan, dimana doktrin-doktrin agama (gereja) berhasil memberangus kreatifitas dan 'keliaran' akal yang dianggap berbahaya. Hingga muncullah Descartes yang berhasil menumbangkan represi gereja, dan membebaskan posisi akal, sehingga akal serasa terlahir kembali, renaissance. Begitulah, perkelahian antara akal dan hati (wahyu) dalam perebutan posisi sebagai sumber pengetahuan-kebenaran.
Kembali pada ayat ke-43 dari surah al-Nahl diatas, kenapa Tuhan tidak menyuruh kita bertanya kepada ahlu al-'ilm atau ahlu al-'aql, tapi justru kepada ahlu al-dzikr? Pastinya, ada rahasia yang tersembunyi di balik itu. Ini bukan berarti Tuhan menyembunyikan sesuatu, melainkan bisa jadi kita saja yang tidak mengetahuinya.
Dalam ranah episteme, kita mengenal aliran intuisionisme, dengan tokohnya bernama Henry Bergson (1859-1941 M). Intuisionisme--atau iluminasionisme atau 'kasyf' di kalangan agamawan sebagai--lahir setelah rasionalisme maupun empirisme dianggap gagal dalam mengeksplanasi suatu objek. Objek-objek yang ditangkap indera adalah objek yang selalu berubah, sementara indera itu sendiri sifatnya terbatas, akal juga terbatas. Akal hanya mampu menangkap objek ketika ia mengonsentrasikan diri pada objek itu, namun yang lain, yang 'unique', secara keseluruhan, tidak mampu dijangkau. Oleh karena itulah, untuk memahami objek secara keseluruhan, yang 'unique',utuh dan tetap, diperlukan usaha lain, bukan lagi lewat akal maupun indera lima.
Kemampuan itu bernama intuisi. Hampir sama dengan instict, namun intuisi berbeda dalam kesadaran dan kebebasannya. Adapun untuk memperoleh kemampuan intuisi tersebut diperlukan suatu usaha. Bukan lagi dengan jalan melihat, mendengar, meraba, berpikir radikal, atau sekedar kontempelasi, melainkan dengan cara-cara tertentu seperti tirakat, suluk, atau riyadhah. Dalam Islam dikenal sebutan tariqat dan tasawwuf. Hanya dengan itulah, manusia bisa mengetahui dan memahami suatu objek yang tetap, utuh, dan unique. Dan jalan yang seperti itu tidak bisa lepas dari dzikir, mengingat Tuhan, Dzat yang Maha Tinggi, Maha Mengetahui, dan yang 'laisa kamislihi syai'un'.
Maka demikianlah sedikit penjelasan mengenai alasan kenapa Tuhan menyuruh kita untuk menanyakan hal-hal yang tidak kita ketahui kepada ahlu-dzkir, bukan ahlu-'ilmi atau ahul-'aqli. Wallahu a'lam.
Referensi:
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati dari Thales sampai Capra, Cet. X, Remaja Rosdakarya, Bandung: 2002
Komentar
Posting Komentar