SENGKUNI vs SENGKUNO
Seperti biasanya, obrolan santai antara Sengkuno dan Sengkuni
sore hari itu menjurus pada ‘udur-uduran’ yang katanya sebagai diskusi. Entah
bagaimana awalnya namun lagi-lagi udur-uduran dan eker-ekeran.
Begitu tiba di sebuah mushala, langsung Sengkuno mengeluarkan
laptop yang selalu setia menemaninya kemanapun ia pergi. Sengkuni yang dari
tadi diam sambil nguthek-nguthek hand phonenya, hingga akhirnya ia ngomong ke
Sengkuno, “Hrihun man? Apa keluhan Bapak? Apa kepentingan Bapak hari ini?” Pertanyaan
keakraban mereka sehari-hari.
“Sik sik, mbok yo jangan terus ngmong kepentingan terus. . .
.eneg aku.” Dengan ogah-ogahan akhirnya Sengkuno menimpali.
"Tapi kan setiap tindakan tu pasti ada kepentingan bro,
karena kalau ndk ada kepentingan, kita ndk bakalan bertindak. Pasti ada motif.
. . .tendensi." sanggah Sengkuni.
"Iya (dengan mimik serius). . .setiap tindakan tu tak
bisa lepas dari kepentingan, motif, atau tendensi. Namun kata-kata kepentingan tu
mbok yo ndk usah kita cuatkan, biar ndak jadi wacana. Kata kepentingan kan
sudah mengalami peyorasi makna, meskipun action kita motifnya atau
berkepentingan bagus, pasti dicurigai atau bahkan bisa ditafsirkan jelek."
"Tapi kan kepentingan dan tindakan nanti akhirnya juga
jadi wacana. . .?"
"Ya itu wajar, kalau kepentingan atau action kita
akhirnya dijadikan wacana oleh orang lain. Kita biarkan saja mereka menafsirkan
dan mencari-cari makna yang ada di dalamnya, yang penting kan kita kembali ke
motif kita, kalau kata pak Naim pas memberikan kuliah kemarin, intensi. . . . . .niat."
Mereka berduapun diam, seakan tidak ada yang bisa di’udur’kan
lagi. Sengkuno juga kembali konsentrasi pada layar laptop di depanku. Belum
sempat tangannya memainkan keyboard, Sengkuni yang iseng melirik kembali
bicara. Kelihatannya dia ndak betah kalau ndak udur-uduran.
"Motif, motivasi. . . . .dorongan untuk melakukan
tindakan yang dituntut sesuatu. . ." Celetuknya begitu ia tahu kalau Sengkuno
sedang membuat makalah tentang motivasi belajar siswa.
Sengkuno pun terprovokasi, "Lhoh, memang (dengan nada
menjelaskan seperti dosennya kemarin). Motivasi itu dorongan untuk melakukan
tindakan untuk suatu tujuan. Tapi kalau dituntut, yang menuntut siapa atau apa,
siapa yang dituntut, trus apa tuntutannya??"
"Tuntutan lo man, bukan dorongan? Realitas sosial itulah
yang menuntut kita. . .untuk bergerak, untuk bertindak. Piye??"
"Bukan dituntut, yo bukan tuntutan. Itu kebutuhan.
Kebutuhan itu ndk sama karo tuntutan, bro. . .Maslow kan pernah ngomong, kalau
kebutuhan manusia ki ada 5 tingkatan. Mulai kebutuhan fisiologis, safety and
security, afiliasi, esteem, dan aktualisasi. Katanya lagi, keinginan atau
kebutuhan manusia tak akan pernah habis. Kalo kebutuhan satu sudah dipenuhi, ia
akan mencari kebutuhan yang lebih tinggi, dan kebutuhan diatasnya, yang belum
terpuaskan itulah jadi motivasinya.”
"Lhaiya. . .tuntutan kan tetep ndk sama kro kebutuhan
to? Kalau tuntutan itu keharusan, mau ndk mau kita harus memenuhinya,
bertindak. Kebutuhan juga ada primer dan sekunder. . .nah, yang primer itu kan
jadi keharusan, jadi tuntutan. . .harus kita penuhi. Hayo, piye piye??"
timpal Sengkuni tak mau kalah.
Wueleh, bingung juga Sengkuno, beda antara kebutuhan dengan
tuntutan. Kepalanya yang tidak gatal digaruk-garuk juga. . .
Sengkuno tidak meneruskan diskusi (tepatnya udur-uduraan) itu,
karena memang dari tadi ia juga mumet nyambi mengerjakan tugas. Namun
pikirannya tetap tak bisa diam, apa iya, kebutuhan (primer) jadi tuntutan?
Kalau tuntutan, apa yang dituntutkan, siapa yang dituntut, dan siapa yang
menuntut? Masak sih realitas sosial yang menuntut? Trus menuntut apa? Menuntut
bagaimana?
Sengkuno pun berandai-andai pada sebuah ilustrasi. Ketika ada
seseorang yang lapar, secara otomatis ia akan melakukan suatu tindakan untuk
mencari makan. Nah, tindakan tersebut berawal dari motivasi ataukah tuntutan?
Motivasi untuk mempertahankan hidup atau setidak-tidaknya untuk menghilangkan
rasa lapar tersebut? Ataukah tuntutan karena jika tidak makan ia akan menderita,
bahkan bisa mati?
Terus yang menuntut siapa? Atau apa? Apakah manusianya itu
sendiri karena jika tidak makan maka ia bisa mati (untuk mempertahankan hidup)?
Ataukah perasaan laparnya?
Kalau motivasi, apa yang mendorong menjadi suatu tidakan?
Apakah rasa lapar? Ataukah untuk hidup? Atau makanan?
Lha itu kalau soal perut, primordial, yang kata teori
hierarki kebutuhannya Maslow merupakan kebutuhan fisiologis. Terus kalau kebutuhan
lain? Mobil? Ah, jangan. Terlalu mewah itu. Ambil contoh sepeda pancal saja.
Memiliki sepeda pancal itu kebutuhan apa keinginan? Atau tuntutan?
Mumet. Kalau diteruskan akan terlalu jero, nanti dikira sok
filsafati, sok yes, sok cong, atau sok-sok yang lain. “Ah, daripada pening
pening terus koyo Poltak si Tompel yang sok ‘Demokrat’is, ngopi wae lah”
gumamnya.
Buru-buru ia masukkan perkakasnya dan segera mengajak
Sengkuni mencari wedang. &^%*^&#*(^&*)&&^%
Komentar
Posting Komentar