Ahad, 24 Maret 2013


Bagaskara menyeringai tajam, menunjukkan keganasannya siang itu, tidak mengurangi rasa syukurku setelah dua hari dua malam kukerahkan tenaga dan pikiran dalam Sarasehan Kebangsaan dan Pelatihan Kader Dasar se-Mataraman yang diselenggarakan oleh Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Trenggalek, di Balai Diklat Kabupaten Trenggalek. Ahad, 24 Maret 2013, dengan badan dan pikiran yang letih, aku ajak istriku untuk segera meluncur kerumah simbah di desa Jatiprahu, Karangan. Selain mencari tempat istirahat yang menurut kami representatif, sekalian juga menilik simbah, karena kebetulan kami sudah lama tidak kesana.

Motor kupacu cepat. Sekitar pukul 13.00 WIB aku dan istriku tiba ke rumah simbah. Simbah yang waktu itu mencari rumput untuk tiga ekor kambingnya, segera menyambut kami sebelum kami memasuki halaman rumahnya. Kebetulan karung yang beliau bawa hampir penuh. Aku dan istriku bergegas masuk ke rumah. Kuletakkan punggungku pada sofa yang sudah tidak empuk lagi di sudut ruang tamu.

Simbah yang telah meletakkan sekarung rumputnya di kandhang kemudian menyalami kami berdua, lantas mengambil sehelai papir dan sejumput tembaku plus cengkeh lembut. Simbah memulai obrolan santai di ruang tamu yang tak terlalu terawat itu. Perbincangan awal kami sebagaimana jamaknya obrolan antara cucu-kakek yang lama beberapa waktu tak bertemu, mulai kabar di rumah, hingga kondisi padi dan jagung yang digarap simbah. Kebul asap dari lintingan sigaret yang keluar panjang dari mulut simbah menggambarkan keletihannya setelah seharian berpanas-panas di sawah. Tanganku lekas merogoh rokok mild di saku celana dan kusulut dengan zippo jawa milik simbah. Tak lama berselang, istriku pun keluar dari dapur dengan menenteng dua gelas kopi. ............

Manggut-manggut aku mendengarkan simbah bercerita. Obrolan yang gayeng, meskipun topiknya sama sekali tidak update, bukan berita orang-orang Senayan, bukan tentang KPU yang mengesahkan PKPI sebagai partai ke-15, atau Sarumpaet yang ingin membuat pemerintahan transisi. Beliau hampir selalu bercerita tentang masa-masa dulu, ketika simbok masih ada, bahkan ketika aku atau ibuk masih kecil dulu. Dan akupun tidak mengalihkan telingaku sampai mulut beliau kembali menyedot sigaret dan segera mengepulkan asapnya. Pipinya yang ceking terlihat jelas, menegaskan usia simbah yang sudah kepala tujuh, walau semangatnya tak pernah surut.

Hingga dahiku mengernyitk, saat beliau berkata dengan nada serius,

"Lha iyo to le, mugo-mugo uripmu kepenak.............ben iso ngopeni mbahmu sing wis tuwa iki. Snajan ngene ritek, mbahmu isih iso mikir anak putu, isih nduwe tinggalan sawah lemah. Mugo-mugo anak putu panggah rukun.................. Wong sak sakumurku kene iki yo ora thithik.......sing mati ora iso ninggali sawah lemah kangge anak putu. Bar ditinggal mati ora enek sing kenek didum. Kamdulilah le.....mbahmu iki isih enek sing mbesok kenek didum".


Untuk kesekian kalinya kepalaku manggut-manggut, berusaha mencermati dan menafsirkan apa yang baru saja dikatakan simbah. Kuseruput kopiku yang hampir tidak panas lagi, tak lupa kuambil sebatang rokok mild di atas meja yang sedari tadi setia menemani kami...............

Dalam ketermenunganku, mataku tak sengaja melihat jam di dinding. Jarum jam membentuk sudut siku-siku, tanda pukul 3 sore. Segera aku bangunkan istriku yang sedari tadi tidur karena lelahnya. Aku ajak istriku pamit lalu pulang.

Namun kata-kata tersebut masih terngiang-ngiang di benakku. Betapa leluhur-leluhur kita, mbah-mbah kita, nenek moyang kita, sangat memikirkan generasi-generasi setelahnya. Bahkan hingga 7 turunan pun, kalau bisa. Tapi orang zaman sekarang? Hidup aja susah kok mikir besok? Buat makan saja kudu melu edan, kok mikir tinggalan?
Inikah zaman edan itu, yang katanya jika ndk ikut edan ndak keduman? Siapakah yang patut disalahkan, jika tradisi leluhur semakin menghilang? Tuhan kah? Atau penguasa kah? Kapitalis-kapitalis dan feodal kah?
Atau mungkin lagi-lagi disuruh "introspeksi diri"??? Halah mboh Gusti...










Komentar